Di penghujung malam kemarin di tengah hujan yang begitu deras aku mendapatkan pesan dari seorang teman lama di aplikasi hijau yang menceritakan kondisinya saat ini yang serba datar. Beliau mengatakan bahwa hidupnya belakangan ini terasa datar dengan tidak memiliki ketertarikan akan apapun dengan perempuan. Dia bingung dan menanyakan bagaimana caranya untuk bisa kembali menaruh hati kepada seorang perempuan setelah bertahun-tahun menikmati hidup sendirian.
Aku mengerti perasaan itu, seperti hidup tetap berjalan tapi semuanya terasa hambar tidak ada yang bikin “gregetan” lagi. Mungkin seperti kehilangan “rasa” dalam hidup ya? Atau kehilangan koneksi emosional dengan seseorang. Bisa jadi karena sudah terlalu nyaman sendiri, sampai tidak sadar kalau perlahan kehilangan dorongan untuk mencari sesuatu yang lebih berarti.
Kemudian, dia melanjutkan ceritanya di tahun 2021 yang sempat bertemu dengan seorang perempuan yang benar-benar menarik perhatiannya. Namun di penghujung 2022 dia melepaskan perempuan tersebut karena merasa tidak layak.
Aku penasaran, apakah rasa tidak layak itu lebih ke perasaan takut tidak bisa memenuhi ekspektasi dan akhirnya memilih mundur? Memang terkadang kita lebih keras ke diri sendiri daripada orang lain.
Dari ceritanya, menurutku mungkin ini bukan soal tidak bisa menaruh hati kembali namun lebih kepada kehilangan makna dalam hal-hal yang penting. Bisa jadi ini hanya fase atau mungkin ada sesuatu dalam dirinya yang perlu “disembuhkan” dulu sebelum bisa merasa excited lagi untuk ngobrol dengan orang baru.
Selain itu, aku juga menyarankan untuk kembali mencoba menjalin komunikasi dengan perempuan yang sempat menarik perhatiannya dulu. Namun dia menolak karena perempuan tersebut katanya akan menikah dengan pasangan barunya, dia takut jika hal tersebut dilakukan akan merusak hubungan orang.
Aku paham dan salut dengan cara berpikirnya. Dia masih menghormati dan tidak mau mengganggu kebahagiaan perempuan tersebut. Itu pertanda kalau dia sudah menjadi orang yang benar-benar peduli dan dewasa. Tapi di sisi lain dari obrolan maya yang bikin aku begadang meladeni ceritanya, aku bisa merasakan kalau perasaan kehilangan itu masih ada di dalam dirinya, meskipun dia sadar atau tidak.
Aku kembali memberi saran untuk mulai menemukan makna baru dalam hidupnya. Aku yakin ini tidak gampang, tapi kalau dipikir-pikir karena dia sempat excited dan bersemangat sebelumnya, artinya dia masih punya kapasitas untuk merasakan itu lagi. Cuma sekarang mungkin perlu cara baru dan pengalaman baru.
Menurutnya, masalah utama dalam hidupnya saat ini adalah kehilangan ketertarikan mengobrol dengan perempuan baru sehingga dia bingung untuk bagaimana bisa mencapai rasa excited dan semangat itu lagi.
Aku paham, sepertinya masalah ini bukan cuma soal perempuan baru, tapi lebih ke perasaaan yang masih belum benar-benar pulih dari pengalaman sebelumnya. Bukan berarti masih jatuh hati ya, tapi lebih ke dampaknya yang merasa tidak ada lagi orang yang bisa kasih vibe dan koneksi yang sama.
Kadang, kalau kita sudah pernah mengalami sesuatu yang meaningful, tanpa sadar standar kita jadi naik. Jadi ketika ngobrol dengan orang baru, kita secara tidak sadar ngebandingin dan kalau tidak ketemu “klik” yang sama, kita jadi malas atau merasa datar, dan menurutku itu wajar.
Mungkin sekarang bukan soal mencari perempuan baru, tapi lebih ke reset cara pandang dulu. Bukan berarti harus buru-buru jatuh hati lagi, namun mencoba untuk ngobrol tanpa ekspektasi apa-apa, sekedar menikmati interaksi tanpa harus mikir jauh. Kadang, makin kita merasa “harus” excited, makin membuat kita sulit untuk beneran excited.
Kemudian, arah ceritanya berganti. Dia mulai membahas kekhawatirannya atas mitos bahwa di umur 30-an dia takut Tuhan akan lepas tangan atas jodohnya.
Wkwk, Tuhan lepas tangan itu mitos banget menurutku. Jika iya, orang yang menikah di umur 40-50 harusnya sudah tidak ada harapan dong? Nyatanya, banyak orang yang ketemu pasangan terbaiknya justru setelah umur 30-an, bahkan ada yang baru menikah di usia 40-an dan tetap bahagia.
Sebenarnya yang bikin sulit itu bukan karena “Tuhan lepas tangan” tapi lebih ke faktor lingkungan dan mindset. Di umur 30-an, biasanya kita lebih selektif, tidak asal cari pasangan hanya untuk status saja. Kita juga sudah lebih mandiri, jadi tidak gampang terpukau dengan hal-hal sepele seperti waktu masih 20-an.
Jadi, kalau di umur 30-an masih sendiri dan belum ada rasa untuk mencari pasangan, tidak masalah, tidak harus terburu-buru. Tapi kalau suatu saat ada seseorang yang benar-benar menarik perhatian, jangan ragu untuk kembali membuka hati. Kadang yang terbaik suka datang di saat yang tidak kita duga.
Dia melanjutkan dengan bertanya tentang pilihan hidupnya untuk tetap sendiri dan tidak menikah karena masih begitu nyaman dengan kesendiriannya. Dia menjelaskan selama ini hampir melakukan aktifitas sendirian, seperti nonton konser sendiri, nonton bioskop, bahkan kulineran pun pergi dan makan sendirian.
Hidup bukan merupakan sebuah perlombaan untuk siapa yang lebih dulu menikah atau punya pasangan. Jika saat ini nyaman hidup sendiri dan menikmati hidup dengan cara tersebut, ya jalani saja.
Banyak orang memaksakan diri untuk menikah hanya karena tekanan sosial atau takut sendirian di masa depan, padahal kebahagiaan tidak selalu datang dari hubungan romantis. Ada orang yang bahagia dengan pasangan, ada yang bahagia sendiri dan keduanya valid.
Selama hidup kita masih bisa berkembang, menikmati hidup, dan merasa bahwa kesepian bukanlah hal yang menyiksa. Tidak ada alasan untuk mengubah sesuatu yang sudah bikin kita nyaman. Tapi jika suatu saat perasaan kita berubah dan ingin mencoba berhubungan lagi, tidak ada salahnya yang penting keputusan itu datang dari diri sendiri bukan dari omongan orang lain.
Kalau pergi nonton konser, nonton bioskop dan pergi kuliner sendirian itu sudah bikin kita sendiri bahagia, berarti kita sudah menang dalam hidup versi kita sendiri.
Perihal pendapatku tentang hidup sendirian di masa depan, dia kembali memastikan apakah keputusannya saat ini untuk fokus hidup sendiri itu salah atau tidak. Karena menurutnya, dia merasa tidak nyaman dengan pendapat orang lain yang mengatakan bahwa jika tetap memilih sendiri dan tidak memiliki anak dikhawatirkan ketika tua nanti tidak ada yang mengurusnya.
Keputusan untuk tetap hidup sendiri bukanlah hal yang salah. Hidup ini milik kita sendiri dan kita yang paling tahu apa yang bikin kita bahagia. Menikah atau tidak, punya anak atau tidak, semuanya adalah pilihan, bukan kewajiban.
Orang-orang yang bilang jika di masa tua bakal repot tanpa anak itu merupakan pola pikir orang lama yang masih menganggap anak sebagai “investasi” buat jaminan hari tua. Anak tidak pernah minta untuk dilahirkan, menurutku. Maka rasanya tidak adil kalau anak dibebani tanggung jawab untuk merawat orang tua hanya karena “seharusnya begitu”. Banyak orang yang punya anak, tapi di masa tua tetap sendirian atau bahkan dirawat di panti jompo. Semua balik lagi ke keputusan diri sendiri, jika tetap ingin sendiri apakah mau hidup di panti jompo.
Namun juga tidak salah jika sebagai seorang anak untuk tetap merawat orang tuanya di masa tua karena rasa kasih sayang sebagaimana yang telah orang tua berikan sedari kecil.
Sebaliknya, banyak juga orang yang memilih hidup sendiri tapi tetap bisa menikmati masa tua dengan baik. Mereka membangun support system, punya teman-teman yang saling menjaga, dan mempersiapkan finansial dengan baik agar tetap mandiri.
Selama kita punya rencana untuk masa depan dan menikmati hidup dengan pilihan kita, tidak ada yang perlu dikhawatirkan yang penting kita menjalani hidup dengan penuh makna, entah itu dengan atau tanpa pasangan dan anak. Hidup bukan tentang mengikuti ekspektasi orang lain, tapi tentang bagaimana kita merasa puas dan damai dengan pilihan kita sendiri.