besarmulut.com

Amateur Storyteller

  • Negosiator Surga

    Sebuah monolog dari seorang manusia yang tengah sibuk bernegosiasi dengan Tuhan;

    “Tenang, sudah kutitipkan rindu itu di tempat paling sunyi, di ruang yang tak kasat mata. Tak ada satu pun tangan fana yang mampu meraihnya, kecuali tangan Sang Pencipta yang paling setia memeluknya.

    Setiap kali aku berbincang dengan Tuhan di malam-malam panjang, aku bawa namanya, kusematkan dalam setiap bintang di penghujung malam. Bukan karena tak mampu untuk memilikinya, bukan pula karena tak ingin, tapi aku terlalu takut kehilangan, jadi kupilih untuk tak memilikkinya.

    Sebab, coba kau pikirkan, sesuatu bisa dikatakan hilang karena sempat kau milikinya kan? Jadi, dengan tidak memilikinya aku takkan pernah kehilangannya.

    Dalam setiap obrolanku dengan Tuhan, aku berdiskusi untuk memilikinya nanti di kehidupan selanjutnya. Jadi, aku harus berjuang untuk bisa mendapatkan akses surga, agar bisa bertemu dan memilikinya nanti di sana.

    Sebuah awal obrolan yang membuatku takjub dengan hidupnya yang mampu mengelola keikhlasan dengan cukup baik. Kemudian aku penasaran, mengapa tidak memanfaatkan waktu saat ini untuk memiliki seseorang yang dia harapkan nanti bertemu kembali di surga?

    “Kenapa aku tidak mau sekarang? Aku sudah bilang sebelumnya, jika dalam waktu yang sama ada orang yang menyukainya maka aku siap untuk mengalah. Aku tahu bagaimana rasanya dikecewakan oleh harapan yang diambil oleh orang lain. Maka, aku tidak mau orang lain merasakannya, cukup aku.

    Dari pertemuan singkat ini, aku mengerti bahwa tidak semua harapan harus dituntaskan di dunia. Sebab kita masih memiliki kesempatan yang sama di dimensi yang berbeda, dimensi yang abadi yaitu surga. Meskipun nantinya itu tak terwujud, paling tidak momen ini membuat kita punya kesempatan untuk belajar berbicara dengan-Nya lebih dalam.

    Di akhir pertemuan, ia menatapku sebentar. Bukan dengan mata yang memohon atau berharap, melainkan sebuah pandangan yang cukup tenang namun nyaris asing bagiku. Seolah ia telah menyelesaikan percakapan panjang dengan dirinya sendiri.

    “Jadi, selamat berbahagia untuk kalian berdua. Selamat saling menjaga. Selamat mengkasihi.

    Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam seakan sedang mengikhlaskan sesuatu yang sudah lama ia peluk erat.

    Sembari tersenyum, ia pun melanjutkan …

    Karena tujuanku adalah memilikinya secara utuh, terserah dia dengan siapa saat ini. Mungkin di kehidupan selanjutnya tujuanku akan terjawab. Sampai Jumpa!”



  • Medan Tanpa Kamu

    Medan tanpa “kamu” bukan lagi Medan yang kukenal.

    Aku sempat berpikir, bagaimana jika Medan tanpa suara klakson yang bersahut-sahutan di jalan, tanpa pengendara yang menyalip dari kiri dan kanan sembarangan, tanpa makian khas yang terdengar seperti nada tinggi dalam percakapan biasa, semuanya terasa janggal. Terlalu sunyi. Terlalu rapi. Terlalu asing.

    Tanpa kamu, tanpa ketidaksabaranmu, antrean di sebuah pedagang kaki lima yang ramai karena makanannya yang enak jadi terlalu tertib. Tak ada lagi desakan dan lirikan tajam karena penjualnya terlalu lama menyiapkan makanan. Tak ada lagi suara orang di belakang yang menggerutu, “Lama kali, Kak!” dengan nada bercanda tapi penuh ketidaksabaran khas Medan.

    Medan selalu keras, tapi di situlah pesonanya. Kota ini tak suka basa-basi, tak pernah berpura-pura. Warganya bicara apa adanya, kadang terdengar kasar, tapi selalu jujur. Mereka tak berusaha menyenangkan semua orang dan entah bagaimana, dari situlah kehangatan itu muncul.

    Medan, kau tahu aku sering mengeluh tentangmu. Tentang jalananmu yang penuh ketidaksabaran, tentang suara klakson yang tak pernah kenal jeda, tentang teriakan wargamu yang tak tahu volume rendah. Aku pernah berpikir, hidup akan lebih tenang tanpamu.

    Tapi hari ini, kau menghilang. Dan aku benci mengakuinya—aku rindu ketidakaturan itu. Ternyata, kehilangan hiruk pikukmu lebih menakutkan daripada segala huru-hara yang dulu membuatku geram.

  • Hal yang sampai detik ini masih sering aku pertanyakan adalah: apa salahnya menjadi pendiam?

    Bukan berarti akan selalu begitu. Tidak setiap waktu aku bungkam, tidak di semua tempat aku jadi patung tak bersuara. Tapi di tempat-tempat baru, atau di ruang-ruang yang rasanya bukan milikku, aku lebih memilih diam. Bukan karena sombong, bukan pula karena tak peduli. Meskipun sering dianggap begitu, ditambah memiliki muka yang cenderung ketus. Namun, diam adalah cara terbaik untuk merasa aman.

    Masalahnya, menjadi pendiam itu seperti disalahpahami. Katanya susah bergaul. Dan ya, itu memang benar. Aku sulit dekat dengan orang baru kecuali orang baru tersebut lebih dulu membukakan pintu. Katanya aku introvert dan suka menyendiri. Lagi-lagi, benar. Belakangan aku bahkan merasa kesendirian ini seperti candu karena kesendirian ternyata mampu memberikan ketenangan.

    Aku tahu, kita hidup di tengah budaya yang menjunjung tinggi keberisikan. Semakin banyak bicara, semakin lincah bersosialisasi, semakin dianggap “normal”. Tapi bagaimana dengan kami, yang lebih sering memilih diam? Kenapa seolah kami tak diberi ruang?

    Padahal, kami juga punya alasan.

    Kami diam, karena lebih suka mendengar. Saat seseorang butuh tempat bercerita, justru kami yang sering dicari. Mungkin karena kami tahu rasanya butuh didengar, tanpa dipotong, tanpa dibanding-bandingkan. Kadang, orang cuma ingin mengeluarkan isi kepalanya, bukan butuh solusi, apalagi ceramah. Dan kami, para pendiam, terbiasa menjadi bahu yang tak banyak bertanya. Hal ini sampai sekarang terbukti benar, karena sampai detik ini masih menjadi teman cerita dari banyak manusia.

    Kami juga diam, karena merasa tak semua yang ingin kami ucapkan penting untuk didengar. Kami menimbang setiap kata dalam kepala, lalu sering kali membiarkannya tinggal di sana. Tak jarang, kami memilih menuangkan semuanya dalam tulisan. Bisa jadi dipublikasikan, bisa juga hanya disimpan sebagai draft yang tak pernah selesai. Di situlah suara kami hidup, meski tak berbunyi.

    Dan alasan lainnya yang mungkin terdengar paling sepele adalah ketakutan. Takut cerita kami dianggap membosankan. Takut orang-orang memalingkan wajah di tengah-tengah. Jadi, lebih baik kami diam. Menyimpan semuanya rapat-rapat, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

    Tapi jangan salah. Aku bukan seorang pendiam yang ulet. Aku bisa cerewet juga, di waktu dan tempat yang tepat. Tapi kalau soal jadi penyendiri yang handal, lantas aku akan mengatakan IYA!!! dengan lantang. Aku ahlinya, aku jagonya, namun sayangnya jagonya tanpa ayam h3h3h3.

  • Misteri Kota Jogja

    Tak terasa, sudah lebih dari lima tahun meninggalkan Jogja. Kota yang katanya istimewa itu, pernah menjadi rumah kedua selama bertahun-tahun. Tapi yang lebih melekat justru bukan kisah romantismenya, melainkan kenangan akan kotanya yang penuh misteri.

    Kosan itu terletak di jalan kecil yang padat lalu lalang kendaraan karena terdapat salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Indonesia di ujung jalan, bersebelahan dengan rumah kosong yang menurut kabar bekas penghuninya, penuh dengan “penghuni tak kasat mata.” Entah benar atau tidak, yang jelas, kosan kami sering sekali pengalaman yang tidak bisa dijelaskan secara logika.

    Pernah suatu siang, pintu kamar mandi tiba-tiba terhempas dengan keras. Tak ada angin, tak ada orang. Hanya suara dentuman yang mendadak membuat aku penasaran. Misterius, tentu saja.

    Belum lagi cerita-cerita lain. Bola api yang katanya pernah terlihat terbang di atas atap. Anak kecil yang berlarian di ujung jalan tersebut pukul dua dini hari. Bahkan di kosan teman, lebih menyeramkan seperti batu yang dilempar ke pintu tengah malam, hingga penampakan nenek-nenek Belanda. Bahkan seorang teman di kamar kontrakannya pernah panas tinggi dan kejang, sambil menunjuk-nunjuk ke arah luar pintu seperti melihat sesuatu—tapi ketika dibawa ke rumah sakit, hasilnya nihil. Sehat-sehat saja. Misteri bukan?

    Namun, di balik semua kisah seram itu, ada satu misteri yang hingga kini tak terpecahkan: mengapa selama hidup di Jogja, aku tidak pernah sekalipun menjalin hubungan asmara?

    Kota ini, yang katanya romantis dan penuh kenangan, tak memberikan satu pun kisah romansa. Beberapa dari kalian membaca ini, mungkin berpendapat bahwa memang akunya saja yang “tidak laku.” h3h3h3. Pendapat ini sudah sering kali aku dengan tiap kali menceritakan misteri ini.

    Jangan-jangan Jogja mengutukku untuk tetap sendiri. Mungkin karena “istimewa”-nya, Jogja ingin kenangan tentangnya tidak tercoreng oleh hubungan yang kandas. Karena bukankah jika aku patah hati di kota ini, justru akan berpotenis membenci Jogja?

    Sebaliknya, kalau aku berhasil menjalin hubungan yang indah, bukankah Jogja akan terasa makin manis? Kota ini bisa jadi lebih dari sekadar tempat tinggal—ia menjadi saksi cinta yang mekar dan tumbuh karena berhasil memadukan kenangan akan kotanya dengan manusianya yang menjalin hubungan dengan akhir yang bahagia.

    Atau… barangkali jawabannya lebih sederhana: selama di Jogja, hidup terlalu banyak dihabiskan di kosan. Kosan yang bukan hanya ramai dihuni manusia, tapi juga makhluk astral. Ruangan 3×4 itu merupakan sebuah markas dari lintas angkatan bahkan jurusan. Ramai dan hidup, siang dan malam. Kalo pemilik kos saat itu menjalin hubungan mungkin kosan tak akan lagi seramai itu. Mungkin, kamar tersebut akan kehilangan fungsinya sebagai markas. Tempat segala hal bermula dan berakhir. Tempat makan bersama, lembur menyelesaikan tugas, dan ruang diskusi untuk proses kreatif.

    Bahkan sempat menjadi tempat pelarian dari seorang teman yang patah hati karena ditinggal menikah oleh pasangannya di tempat asalnya. Hingga tangisan karena mendengar kabar orang tua teman yang akan bercerai dari ujung telepon.

    Jadi ya, mungkin Jogja memang menyimpan misteri—tentang kisah romansa yang tak pernah sempat tumbuh, tentang kosan yang terlalu hidup, dan tentang kenangan yang terlalu sayang untuk diganggu oleh luka.

  • Berawal pada yang tidak pernah disangka yang dulunya hanya dikira sebuah ketidakmungkinan yang diharapkan. Bertahun-tahun mencoba bertahan dalam diam karena mengerti diri tak akan mampu melakukan dan tak mau mengatakan ke siapapun karena tak siap melihat bila teman mengambil kesempatan seperti yang sudah-sudah belakangan. Seperti langit dan perut bumi yang benar-benar pertemuannya tak pernah ada yang memungkinkan, kecuali Tuhan.

    Dulu, nurani terus menuntut agar mau mencoba mendekati tanpa pernah berpikir bagaimana hasilnya nanti yang penting sudah mau mencoba mendekati. Tetapi nalar mengeyahkan niat yang coba dibangun oleh nurani, mencoba untuk terus menyadarkan bahwa diri memang benar tidak mampu dan berharap jangan memaksa karena hanya akan menyakitkan di hari kemudian.

    Di balik perseturuan antara nurani dan nalar yang bertahun-tahun dipertahankan, semuanya buyar karena sebuah pesan yang tidak pernah diduga akan kembali datang. Pesan yang selama ini hanya dikira sebuah ketidakmungkinan. Benar-benar kejutan dari Tuhan yang tiba-tiba mengabulkan harapan yang lama terdiam.

    Dalam ketidakmungkinan yang dikabulkan Tuhan, terlalu banyak kejutan yang dihadirkan melalui percakapan-percakapan. Seperti terjebak dalam cerita minim yang singkat dan tak pernah percaya bagaimana sebuah kenyamanan bisa hadir begitu cepat bila melihat bagaimana dulu bertahan mendiamkan harapan begitu lama.

    Sekarang, nurani dan nalar tetap berseteru padahal yang diharapkan sudah berada dalam jangkauan. Tak lagi benar-benar jauh, seolah dalam dekapan dan semoga itu benar. Nurani tetap menginginkan untuk terus melanjutkan agar perasaan dapat disalurkan, tak hanya sekedar diam yang justru hanya menjadi beban pikiran. Nurani benar-benar peduli. Tetapi nalar menolak mentah-mentah apa yang diinginkan oleh nurani, nalar kembali dengan tegas untuk tidak melanjutkan dan tetap percaya pada semua ketidakmungkinan yang sudah hadir selama bertahun-tahun. Nalar semakin gencar mengingatkan akan lalu-lalu yang hanya menghadirkan ketakutan.

    Di tengah perseteruan antara nurani dan nalar, apakah benar ini kejutan Tuhan atas segala ketidakmungkinan yang diharapkan atau ini hanya sekedar cobaan yang sedang Tuhan berikan sebagai bentuk teguran. Pertanyaan itu terus menghujani di tengah keraguan yang tak pernah mau pergi, di tengah nurani dan nalar yang terus berebut dominasi diri.

    Nalar meminta untuk berhenti dan mengerti pada ketakutan yang masih berkutat. Nurani meminta untuk membuka diri agar tak terus membohongi diri dan bersembunyi dalam keraguan-keraguan yang selalu menemani.

    Dan, sisanya kembali kepada diri sendiri untuk membiarkan siapa yang mendominasi antara nalar dan nurani.

  • Di penghujung malam kemarin di tengah hujan yang begitu deras aku mendapatkan pesan dari seorang teman lama di aplikasi hijau yang menceritakan kondisinya saat ini yang serba datar. Beliau mengatakan bahwa hidupnya belakangan ini terasa datar dengan tidak memiliki ketertarikan akan apapun dengan perempuan. Dia bingung dan menanyakan bagaimana caranya untuk bisa kembali menaruh hati kepada seorang perempuan setelah bertahun-tahun menikmati hidup sendirian.

    Aku mengerti perasaan itu, seperti hidup tetap berjalan tapi semuanya terasa hambar tidak ada yang bikin “gregetan” lagi. Mungkin seperti kehilangan “rasa” dalam hidup ya? Atau kehilangan koneksi emosional dengan seseorang. Bisa jadi karena sudah terlalu nyaman sendiri, sampai tidak sadar kalau perlahan kehilangan dorongan untuk mencari sesuatu yang lebih berarti.

    Kemudian, dia melanjutkan ceritanya di tahun 2021 yang sempat bertemu dengan seorang perempuan yang benar-benar menarik perhatiannya. Namun di penghujung 2022 dia melepaskan perempuan tersebut karena merasa tidak layak.

    Aku penasaran, apakah rasa tidak layak itu lebih ke perasaan takut tidak bisa memenuhi ekspektasi dan akhirnya memilih mundur? Memang terkadang kita lebih keras ke diri sendiri daripada orang lain.

    Dari ceritanya, menurutku mungkin ini bukan soal tidak bisa menaruh hati kembali namun lebih kepada kehilangan makna dalam hal-hal yang penting. Bisa jadi ini hanya fase atau mungkin ada sesuatu dalam dirinya yang perlu “disembuhkan” dulu sebelum bisa merasa excited lagi untuk ngobrol dengan orang baru.

    Selain itu, aku juga menyarankan untuk kembali mencoba menjalin komunikasi dengan perempuan yang sempat menarik perhatiannya dulu. Namun dia menolak karena perempuan tersebut katanya akan menikah dengan pasangan barunya, dia takut jika hal tersebut dilakukan akan merusak hubungan orang.

    Aku paham dan salut dengan cara berpikirnya. Dia masih menghormati dan tidak mau mengganggu kebahagiaan perempuan tersebut. Itu pertanda kalau dia sudah menjadi orang yang benar-benar peduli dan dewasa. Tapi di sisi lain dari obrolan maya yang bikin aku begadang meladeni ceritanya, aku bisa merasakan kalau perasaan kehilangan itu masih ada di dalam dirinya, meskipun dia sadar atau tidak.

    Aku kembali memberi saran untuk mulai menemukan makna baru dalam hidupnya. Aku yakin ini tidak gampang, tapi kalau dipikir-pikir karena dia sempat excited dan bersemangat sebelumnya, artinya dia masih punya kapasitas untuk merasakan itu lagi. Cuma sekarang mungkin perlu cara baru dan pengalaman baru.

    Menurutnya, masalah utama dalam hidupnya saat ini adalah kehilangan ketertarikan mengobrol dengan perempuan baru sehingga dia bingung untuk bagaimana bisa mencapai rasa excited dan semangat itu lagi.

    Aku paham, sepertinya masalah ini bukan cuma soal perempuan baru, tapi lebih ke perasaaan yang masih belum benar-benar pulih dari pengalaman sebelumnya. Bukan berarti masih jatuh hati ya, tapi lebih ke dampaknya yang merasa tidak ada lagi orang yang bisa kasih vibe dan koneksi yang sama.

    Kadang, kalau kita sudah pernah mengalami sesuatu yang meaningful, tanpa sadar standar kita jadi naik. Jadi ketika ngobrol dengan orang baru, kita secara tidak sadar ngebandingin dan kalau tidak ketemu “klik” yang sama, kita jadi malas atau merasa datar, dan menurutku itu wajar.

    Mungkin sekarang bukan soal mencari perempuan baru, tapi lebih ke reset cara pandang dulu. Bukan berarti harus buru-buru jatuh hati lagi, namun mencoba untuk ngobrol tanpa ekspektasi apa-apa, sekedar menikmati interaksi tanpa harus mikir jauh. Kadang, makin kita merasa “harus” excited, makin membuat kita sulit untuk beneran excited.

    Kemudian, arah ceritanya berganti. Dia mulai membahas kekhawatirannya atas mitos bahwa di umur 30-an dia takut Tuhan akan lepas tangan atas jodohnya.

    Wkwk, Tuhan lepas tangan itu mitos banget menurutku. Jika iya, orang yang menikah di umur 40-50 harusnya sudah tidak ada harapan dong? Nyatanya, banyak orang yang ketemu pasangan terbaiknya justru setelah umur 30-an, bahkan ada yang baru menikah di usia 40-an dan tetap bahagia.

    Sebenarnya yang bikin sulit itu bukan karena “Tuhan lepas tangan” tapi lebih ke faktor lingkungan dan mindset. Di umur 30-an, biasanya kita lebih selektif, tidak asal cari pasangan hanya untuk status saja. Kita juga sudah lebih mandiri, jadi tidak gampang terpukau dengan hal-hal sepele seperti waktu masih 20-an.

    Jadi, kalau di umur 30-an masih sendiri dan belum ada rasa untuk mencari pasangan, tidak masalah, tidak harus terburu-buru. Tapi kalau suatu saat ada seseorang yang benar-benar menarik perhatian, jangan ragu untuk kembali membuka hati. Kadang yang terbaik suka datang di saat yang tidak kita duga.

    Dia melanjutkan dengan bertanya tentang pilihan hidupnya untuk tetap sendiri dan tidak menikah karena masih begitu nyaman dengan kesendiriannya. Dia menjelaskan selama ini hampir melakukan aktifitas sendirian, seperti nonton konser sendiri, nonton bioskop, bahkan kulineran pun pergi dan makan sendirian.

    Hidup bukan merupakan sebuah perlombaan untuk siapa yang lebih dulu menikah atau punya pasangan. Jika saat ini nyaman hidup sendiri dan menikmati hidup dengan cara tersebut, ya jalani saja.

    Banyak orang memaksakan diri untuk menikah hanya karena tekanan sosial atau takut sendirian di masa depan, padahal kebahagiaan tidak selalu datang dari hubungan romantis. Ada orang yang bahagia dengan pasangan, ada yang bahagia sendiri dan keduanya valid.

    Selama hidup kita masih bisa berkembang, menikmati hidup, dan merasa bahwa kesepian bukanlah hal yang menyiksa. Tidak ada alasan untuk mengubah sesuatu yang sudah bikin kita nyaman. Tapi jika suatu saat perasaan kita berubah dan ingin mencoba berhubungan lagi, tidak ada salahnya yang penting keputusan itu datang dari diri sendiri bukan dari omongan orang lain.

    Kalau pergi nonton konser, nonton bioskop dan pergi kuliner sendirian itu sudah bikin kita sendiri bahagia, berarti kita sudah menang dalam hidup versi kita sendiri.

    Perihal pendapatku tentang hidup sendirian di masa depan, dia kembali memastikan apakah keputusannya saat ini untuk fokus hidup sendiri itu salah atau tidak. Karena menurutnya, dia merasa tidak nyaman dengan pendapat orang lain yang mengatakan bahwa jika tetap memilih sendiri dan tidak memiliki anak dikhawatirkan ketika tua nanti tidak ada yang mengurusnya.

    Keputusan untuk tetap hidup sendiri bukanlah hal yang salah. Hidup ini milik kita sendiri dan kita yang paling tahu apa yang bikin kita bahagia. Menikah atau tidak, punya anak atau tidak, semuanya adalah pilihan, bukan kewajiban.

    Orang-orang yang bilang jika di masa tua bakal repot tanpa anak itu merupakan pola pikir orang lama yang masih menganggap anak sebagai “investasi” buat jaminan hari tua. Anak tidak pernah minta untuk dilahirkan, menurutku. Maka rasanya tidak adil kalau anak dibebani tanggung jawab untuk merawat orang tua hanya karena “seharusnya begitu”. Banyak orang yang punya anak, tapi di masa tua tetap sendirian atau bahkan dirawat di panti jompo. Semua balik lagi ke keputusan diri sendiri, jika tetap ingin sendiri apakah mau hidup di panti jompo.

    Namun juga tidak salah jika sebagai seorang anak untuk tetap merawat orang tuanya di masa tua karena rasa kasih sayang sebagaimana yang telah orang tua berikan sedari kecil.

    Sebaliknya, banyak juga orang yang memilih hidup sendiri tapi tetap bisa menikmati masa tua dengan baik. Mereka membangun support system, punya teman-teman yang saling menjaga, dan mempersiapkan finansial dengan baik agar tetap mandiri.

    Selama kita punya rencana untuk masa depan dan menikmati hidup dengan pilihan kita, tidak ada yang perlu dikhawatirkan yang penting kita menjalani hidup dengan penuh makna, entah itu dengan atau tanpa pasangan dan anak. Hidup bukan tentang mengikuti ekspektasi orang lain, tapi tentang bagaimana kita merasa puas dan damai dengan pilihan kita sendiri.

  • Reuni, terkadang tidak hanya menjadi ajang pertemuan antara teman-teman lama yang mungkin sudah berbeda kota, memiliki keluarga, bahkan mengganti alat kelaminnya. Reuni juga kembali mempertemukan sepasang manusia yang sempat memadu kasih, entah itu jalur senyap atau jalur resmi.

    Kemarin, Aku mendapatkan pesan dari teman lama, seorang perempuan yang sempat menjadi koki makanan instan, ibu pengasuh bahkan guru les matematika di kwartir era sekolah. Beliau menceritakan kegelisahannya pasca bertemu kembali dengan teman “intim” masa sekolah usai pesta pernikahan teman seangkatan.

    “Kisah kami gatau jalur finishnya di mana. Aku mau marah, juga ga punya hak apa-apa. Aku bukan siapa-siapa dia, dan ga pernah jadi apa-apa” tulisnya dalam aplikasi hijau di malam itu.

    Benar soal ini, karena semasa sekolah mereka hanya berteman. Pertemanan yang cukup “erat” makanya aku menggunakan kata “intim” di paragraf sebelumnya karena bingung menggunakan kata apa untuk menggambarkan keeratan mereka yang sama-sama memiliki pasangan namun di sekolah lain.

    “Sekarang, aku udah punya jalur sendiri. Begitu pun dia. Tapi rasanya, aku masih ingin berbalik arah menuju ke jalur “nya”. Walaupun mustahil, bahkan untuk dimulai,” lanjutnya.

    Di sini kegelisahan itu di mulai. Kenapa? karena teman perempuan ini sudah menikah dan memiliki anak. Namun masih terjebak dengan situasi romansa masa sekolah. Aku khawatir apa yang dia jalani sekarang berdampak ke anak-anaknya. Seperti ketidakharmonisan keluarga yang tentu berdampak pada tumbuh kembang anaknya atau menanam karma untuk anaknya di masa depan.

    “Kalau aja dulu dia jauh lebih cepat ungkapin apa yang dia rasa, dan aku juga lebih cepat tahu apa yang dirasa. Mungkin sekarang, aku bukan cuma jadi kenangan,”

    Mungkin ini bisa dikatakan “unfinished business” sebab mereka berpisah di ujung masa sekolah dengan tidak baik-baik dan berbeda kota bahkan pulau selama bertahun-tahun. Namun, ketika kembali bertemu mereka tidak kembali membahas atau menyelesaikan masalah yang dulu sempat memisahkan mereka. Sekali lagi, ini hanya analisa gembel ya. Selebihnya tidak tahu apakah analisa itu benar atau tidak h3h3h3.

    Tapi yang jauh bikin penasaran sebenarnya apa sih yang membuat kisah ini terus bertahan bertahun-tahun? Meskipun satu sama lain sudah sempat menjalani hubungan dengan manusia lain di bumi. Namun, tetap kembali menjalin koneksi meskipun belum tahu letak ujungnya bagaimana.

  • “Sudah, jangan ganggu istri orang” kata yang entah berapa kali keluar dari mulutku untuk mengingatkan temanku yang sedang sibuk beraksi mendapatkan perhatian mantannya yang sudah menjadi istri orang. Tidak sepenuhnya salah temanku memang, karena bukan dia yang memulai.

    Katanya dia sudah bertahun-tahun tidak bertegur sapa dengan mantannya, baik itu secara nyata ataupun maya. Mantannya lah yang memulai pembicaraan maya ini dengan menanyakan apa kabarnya sekarang. Dalam awal obrolan mereka, mantannya memberi tahu bawa ia dan suaminya baru saja pulang berbulan madu di kota yang sempat temanku singgahi untuk menuntut ilmu.

    Aku tidak mengerti maksud dari pemberitahuan atas selesainya mereka berbulan madu. Tetapi, temanku masih begitu gigih untuk mendapatkan perhatian mantannya lagi. Entah karena dia sedang percaya diri karena kembali berbincang, atau dia sedang mencoba mengulang kenangan-kenangan yang dulu dia jalani dengan sang mantan. Apapun alasannya aku tak peduli, aku lebih peduli untuk menghentikan aksinya. Sebab, bila keterusan dan kebablasan aku berani jamin luka yang sempat dia goreskan akan berbalik kembali padanya.

    Dalam aksinya merebut perhatian sang mantan, temanku sempat bercerita. Dulu ketika mereka dalam satu ikatan rasa, temanku sempat berkhianat dengan kembali mengikat rasa dengan orang lain dalam waktu yang sama. Temanku menjalani dua ikatan dalam waktu yang lama dan temanku mengakui dia begitu senang, dia merasa berjaya ketika temanku berhasil menaklukkan dua hati yang rupawan, tidak seperti rupanya. Maaf, untuk perkara ini aku berkata jujur. Temanku beruntung dalam tindak curangnya.

    Aksi terus berjalan dalam tiap ketikan maya, kataku seakan tak pernah masuk dalam rongga telinganya. Entah apa yang dipikirkannya untuk terus mengganggu istri orang. Ada dua kemungkinan dalam pikirku; pertama, temanku sedang merasa jadi jagoan karena sang mantan memberi kabar kepulangannya berbulan madu untuk menjelaskan bahwa mantannya tak bahagia dengan suami ketika berbulan madu, tidak seperti mereka bahagianya saat masih dalam satu ikatan melakukan nikmatnya kesalahan.  Atau kedua, mantannya memberi tahu kepulangannya berbulan madu untuk menunjukkan bahwa ia sekarang sudah begitu bahagia dengan suaminya, tidak ketika bersama temanku yang pernah meninggalkan luka karena sempat berkhianat dalam ikatan.

    Bila aksinya didiamkan, tentu ini akan menjadi masalah besar karena melibatkan suami mantannya juga. Bila kemungkinan pertama yang benar karena dipengaruhi kenangan yang tetap hidup di pikirannya. Aku khawatir akan terpisahnya satu janji baru, bagaimana jika satu bibit sudah mulai tercipta saat bulan madu sudah terselenggara? Masa harus mengorbankan bibit yang hendak mencoba hidup karena hanya keegoisan rasa? Apa masih berani menyebut diri kita manusia? Dan ketika bibit itu sudah terlahir di dunia dan si pelaku penciptanya sudah berpisah, dia tidak punya kendali apa-apa, memilih pun dia tak bisa.

    Bila kemungkinan kedua yang benar, aku khawatir temanku akan tenggelam dalam luka balasan akibat khayal yang diciptakan dari kenangan-kenangan yang masih hinggap di pikirannya. Aku khawatir temanku tergores luka yang dia goreskan sendiri, dan pikiranku lebih bersepakat pada kemungkinan yang kedua. Lalu bagaimana dengan kalian?

  • Dalam sebuah ruang yang riuh, di mana suara obrolan dan suara musik saling berebut adu. Ada 1 suara obrolan yang berhasil aku curi malam ini, ditemani secangkir Gayo Wine yang baru saja menghampiri.

    Tepatnya, di meja belakangku. Terdapat sepasang manusia yang sepertinya bukan sepasang kekasih. Tetapi membicarakan perihal hati begitu intim. Otakku memproduksi asumsi. Pertama, mungkin mereka sepasang teman yang sedang berkeluh kesah. Kedua, mungkin juga sepasang teman yang terjebak rasa namun terhalang tembok pertemanan. Untuk asumsi yang kedua, aku yakin yang terjebak rasa pasti hanya salah satu dari mereka, tidak keduanya.

    Dan benar, selama aku mencuri dengar, obrolan mereka berisi tentang rasa yang bertepuk sebelah tangan. Teman Pria tengah sibuk mendominasi suasana, menceritakan bagaimana rasa yang dia simpan selama mereka berteman.

    Dia pun memulainya dengan kalimat “kita sudah dewasa, perihal rasa bukan lagi tentang kata yang diucapkan oleh rasa tersebut. Kita sudah sepatutnya paham cara kerja perasaan, yaitu mengucapkannya melalui semua hal yang terjadi di antara kita”.

    Lalu dia melanjutkan “perihal rasa tentangmu, ibarat membangun semesta baru yang sebelumnya pernah aku hancurkan dan tak mau aku bangun lagi dan semua berubah ketika aku bertemu denganmu, semangatku berapi-api untuk membangun semesta baru. Sampai aku sadar bahwa ada sesuatu yang membatasi, namun semesta sudah keburu aku bangun. Semesta yang kali ini aku bangun tidak akan aku hancurkan lagi karena aku lelah untuk terus membangun dan menghancurkannya berkali-kali. Biarkan semesta kali ini tetap terbangun dengan aku yang terjebak di dalamnya, dan sengaja di semesta kali ini aku sudah menghilangkan pintu dan jendela agar tidak ada jalan keluarnya. Aku biarkan waktu saja yang akan menghancurkan semesta baru ini beserta isi-isinya.” 

    Di tengah gigihnya aku mencuri dengar, ada suara musik yang tak asing mulai mencoba untuk merusak konsentrasi telingaku. Hingga aku melupakan mereka dan ikut bersenandung atas musik yang berhasil mencuri perhatianku. Sial, sang pencuri malah tercuri.

    Ketika aku mulai sadar perhatianku dicuri oleh musik yang tak asing ku dengar. Telingaku mulai kembali untuk berkonsentarsi di meja belakang. Terdengar hentakan kaki, terlihat Teman Pria berdiri seperti ingin mengucapkan kalimat perpisahan mereka di hari itu “Tenang, santai saja. Semua yang bertemu pasti akan berpisah, sama seperti kita, kapan saja bisa terjadi. Tinggal lihat waktunya saja, cepat atau lambat. Terimakasih sudah mengajarkan keikhlasan tanpa harus mengucapkan. Tidak apa-apa kalau hasilnya sia-sia, karena tulus seharusnya tak mengharapkan apa-apa.”

    Aksi curi dengar pun berakhir, Teman Pria pergi meninggalkan Teman Wanita tanpa ekspresi sedih sama sekali. Teman Wanita yang hanya berdiam diri di saat curi dengar beraksi tampak beranjak pergi dari kedai kopi yang semakin disekaki manusia. Dari apa yang sampaikan Teman Pria tadi, aku mendapatkan satu pandangan baru perihal hidup untuk cukup dan bahagia jangan terlalu sulit ataupun terlalu tinggi, sederhana saja. Seperti cukup dengan sendiri dan bahagia dengan kesendirian.

    Aku pun ikut beranjak keluar meninggalkan meja dan sisa-sisa tetesan kopi yang tak ku minum dengan khidmat karena sibuk mencuri. Malam semakin menujukkan dirinya, manusia-manusia terus berdatangan. Aku yang habis mendengarkan orasi singkat dari Teman Pria mencoba mencari jalan untuk mulai hidup bahagia dengan kesendirian.

  • Saat sudah membuka pintu ruangnya, saat sudah mengizinkan berdua bersama dalam satu ruang dan ketika bosan datang, seenaknya pergi begitu saja dengan mengunci kembali pintu ruang tanpa peduli masih ada aku yang terjebak di dalam.

    Pintu Ruang