besarmulut.com

Amateur Storyteller

  • Mengejar Jejak Gundah

    Kita sering bertanya-tanya: mengapa seseorang memilih pergi saat ketika rasa sedang bermekar? Mengapa ada hati yang tega menyakiti?, padahal ada kesetiaan yang sabar menanti? Mengapa seseorang sanggup menenun kisah baru, sementara kisah lama belum juga ia akhiri?

    Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggema di dalam kepala karena sempat terlena dalam keindahan rasa. Kita sibuk menyalahkan mereka yang pergi, tanpa pernah benar-benar mau menengok ke dalam diri.

    Padahal, bisa jadi gundah yang kini hadir adalah cermin dari apa yang pernah kita lakukan. Pernahkah tanpa sadar kita menyakiti hati orang lain? Pernahkah kita menorehkan luka hingga membuat seseorang menangis dalam malam yang sepi, tanpa memiliki tempat untuk bersandar dan bercerita? Pernahkah kita menutup telinga pada keluh yang dibisikkan, lalu berlalu seolah tak ada apa-apa?

    Jika iya, mungkin gundah ini hanyalah manifestasi dari peristiwa lalu. Sebuah balasan halus atas benih luka yang tanpa sadar pernah kita tabur. Sebab sebagai manusia, kita memang kerap buta terhadap kesalahan sendiri, namun begitu piawai menunjuk jari pada kesalahan orang lain.

    Mungkin Semesta sedang menitipkan pesan lewat mereka, bahwa apa yang dulu pernah kita lakukan, kini kembali mengetuk dalam wujud yang berbeda. Dan bila engkau yakin sungguh tidak pernah menyakiti siapa pun, bisa jadi Semesta sedang menjadikanmu sebagai pesan untuk orang lain. Suatu saat, ia yang kini memberimu gundah akan merasakan kembali apa yang telah ia tanam.

    Sebab tak pernah ada asap tanpa api. Begitulah aku selalu memaknai gundah yang singgah menyesaki kepala ini, bukan sekadar perasaan asing yang datang tanpa sebab, melainkan bagian dari skenario besar Semesta. Setiap gundah adalah pesan, pengingat, dan mungkin pula pengganti doa yang tak sempat kita panjatkan.

    Pada akhirnya, yang tersisa hanya pilihan: apakah kita sekadar menjadi penerima pesan, atau justru menjadi pesan itu sendiri bagi orang lain. Jika dipandang dari sisi itu, mungkin gundah tak lagi terasa begitu menyakitkan. Ia bisa dinikmati sebagai tanda bahwa hidup sedang mengajarkan sesuatu yang berharga, dengan cara yang indah, meski terkadang perih.

  • Sebenarnya aku cukup jengah tiap kali mendengar anggapan bahwa setelah menikah, seorang perempuan akan kehilangan sebagian kemerdekaannya. Seolah-olah, ketika status berubah menjadi “istri,” maka ruang gerak, pilihan, dan bahkan kebebasannya ikut menyusut. Jujur saja, aku tidak setuju akan kondisi ini. Aku tetap percaya bahwa kemerdekaan seorang perempuan setelah menikah tetap bisa terjamin, asal hubungan dibangun di atas kepercayaan, dan komunikasi.

    Aku melihat banyak perempuan merasa kehilangan ruangnya setelah menikah. Hal ini tidak terlepas dari budaya patriarki yang masih kental, di mana laki-laki dianggap sebagai pusat pengambil keputusan, sementara perempuan diharapkan patuh dan mengikuti. Pandangan seperti ini membuat pernikahan sering dipahami sebagai “kepemilikan,” bukan “kemitraan.” Padahal, menurutku, pernikahan seharusnya menjadi ruang kesetaraan.

    Salah satu hal yang sering jadi bahan perdebatan jika aku menyampaikan pendapat ini ke orang-orang di sekitarku adalah soal anak. Buatku pribadi, keputusan untuk memiliki anak atau tidak, aku serahkan sepenuhnya kepada pasanganku. Alasannya sederhana: dialah yang akan mengandung, menanggung semua perubahan fisik dan emosional, serta menghadapi tantangan sembilan bulan ke depan. Aku merasa wajar bila dia punya suara terbesar dalam keputusan itu.

    Namun, itu tidak berarti aku melepaskan tanggung jawab. Aku sadar betul bahwa perjalanan memiliki anak bukan hanya soal kehamilan, tetapi juga kehidupan setelahnya. Itu adalah perjalanan panjang yang akan dijalani bersama. Karena itu, aku tetap ingin terlibat dalam percakapan, mendengar, dan berbagi pandangan. Aku ingin pasanganku tahu bahwa aku mendukung apa pun pilihannya, tapi aku juga siap hadir sebagai teman diskusi.

    Bagiku, langkah ini menjadi bentuk perlawanan terhadap budaya patriarki. Aku tidak mau kehadiranku dalam pernikahan menjadikan pasanganku kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri.

    Hal lain yang juga kerap menimbulkan perdebatan adalah pernikahan tidak seharusnya memutus tali pertemanan. Aku tidak ingin melarang atau membatasi pasanganku berteman, apalagi dengan orang-orang yang sudah dikenalnya jauh sebelum aku datang. Bagiku, teman adalah bagian penting dalam hidup seseorang. Kita semua butuh mereka, sebagai tempat bercerita, tempat berbagi, dan tempat kembali saat dunia terasa berat. Terkadang, sadar atau tidak, setuju atau tidak, ada beberapa hal masalah yang tidak bisa kita ceritakan ke pasangan.

    Aku percaya, membiarkan pasangan tetap menjaga pertemanannya bukan berarti aku mengurangi peranku dalam hidupnya. Justru itu wujud dari kepercayaan. Selama hubungan dibangun di atas keterbukaan, aku tidak merasa perlu mengatur siapa yang boleh atau tidak boleh menjadi temannya.

    Dalam masyarakat patriarkis, tidak jarang perempuan justru dipaksa meninggalkan lingkar sosialnya setelah menikah. Tapi aku tidak ingin terjebak dalam lingkaran itu. Sama seperti aku menghargai ruang sosial pasanganku, aku juga berharap ruang itu tetap ada untukku.

    Pada akhirnya, aku tidak melihat pernikahan sebagai akhir dari kebebasan. Menurutku, pernikahan adalah perjalanan untuk menemukan bentuk baru dari sebuah kemerdekaan. Bukan lagi hanya “aku,” tetapi “kami.” Bukan lagi berdiri sendiri, tapi saling menyokong satu sama lain.

    Kemerdekaan bukan berarti berjalan sendirian tanpa batas, melainkan tetap punya ruang untuk menjadi diri sendiri, sambil menghormati keberadaan pasangan. Dan menurutku, inilah cara paling sehat untuk melawan budaya patriarki yang mencoba mengurung perempuan dalam pernikahan.

    Pernikahan tidak seharusnya membuat seseorang kehilangan dirinya. Justru di dalamnya, aku percaya, kita bisa tumbuh bersama tanpa harus merasa kehilangan kemerdekaan masing-masing.

  • Ntah ada angin apa, bangun tadi pagi aku terlintas dipikiran mengenai kutipan dari Tan Malaka “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” Kutipan itu terasa relevan setelah semalam sibuk mengikuti kabar rencana aksi demonstrasi di sebuah kota yang akhirnya batal digelar oleh sang inisiator.

    Di satu sisi, pemuda memang kerap lekat dari idealisme. Mereka berani menyuarakan keadilan tanpa banyak kalkulasi, karena belum sepenuhnya terikat oleh kepentingan, jabatan, atau beban hidup. Idealisme menjadi semacam kompas moral yang memberi arah, bahkan ketika kenyataan di lapangan sering kali tidak ramah.

    Namun, realitas kerap menghadapkan idealisme pada ujian terberatnya. Tak jarang idealisme itu harus “digadaikan” entah demi keamanan, kenyamanan, atau sekadar kebutuhan hidup yang mendesak. Dalam situasi semacam ini, seperti kutipan Tan Malaka sebelumnya, idealisme bisa kehilangan kemewahannya. Ia tak lagi dipandang sebagai sesuatu yang luhur, melainkan hanya komoditas yang mudah dipertukarkan.

    Pertanyaannya, apakah orang yang menggadaikan idealismenya otomatis kehilangan jati diri? Ataukah masih ada ruang untuk menebus kembali prinsip yang pernah dilepaskan? Pandangan Tan Malaka tegas: sekali kemewahan itu hilang, maka ia tak lagi ada. Idealisme yang tergadai tak lebih dari bayangan samar dan jika terus diperdagangkan, ia bisa jatuh menjadi barang murah.

    Kenyataan menunjukkan, banyak yang memilih jalan kompromi. Ada yang mengorbankan idealismenya demi kelangsungan hidup, ada pula yang melepasnya demi keuntungan sesaat. Kalimat pertama mungkin masih bisa dimaklumi secara manusiawi, tapi yang kedua jelas membuat masyarakat menilai mereka sebagai oportunis.

    Akhirnya, idealisme sejati bukan soal keras kepala, melainkan konsistensi menjaga nilai di tengah perubahan zaman. Ia bisa tampil dalam berbagai bentuk: turun ke jalan, bergerak di media sosial, meningkatkan literasi, atau bahkan lewat karya kreatif. Tetapi satu hal pasti, idealisme hanya tetap menjadi kemewahan jika dijaga dengan integritas, bukan ketika ia ditukar dengan kenyamanan yang menurutku hanya dapat dinikmati jangka pendek.

    Kemudian pertanyaannya, apakah kita masih sanggup merawat kemewahan itu, atau rela menjadikannya sekadar barang murah yang ditukar atas dasar kepentingan?

  • Menikah, ternyata jauh lebih menakutkan daripada yang sering kita bayangkan. Bukan karena omongan keluarga yang sibuk menilai kualitas pesta atau janji sehidup semati yang diucapkan di depan orang banyak, melainkan karena ekspektasi yang kadang tidak kita sadari tumbuh dalam diam.

    Menyeramkan rasanya ketika kita menemukan pasangan yang berharap pernikahan menjadi jalan keluar untuk memperbaiki kehidupan dia dan keluarganya. Betapa berat beban itu, apalagi jika sejak awal kita tidak cukup mengenali pasangan kita dengan baik.

    Menikah, bukan sekedar menyatukan dua orang. Menikah merupakan sebuah proses perjalanan panjang untuk belajar saling memahami, mendukung, dan paling penting saling terbuka akan niat, harapan, serta ketakutan-ketakutan yang kita bawa. Tanpa itu, rasa sayang di awal hubungan aku rasa dapat menjadi tekanan yang perlahan mengikis kebahagiaan.

    Pada akhirnya, menaruh hati juga sebuah proses berdamai. Seberapa pun besar rasa sayang kita kepada pasangan, kita pasti akan menemukan setidaknya satu hal yang benar-benar menggangu, yang kita benci, hingga membuat kita ragu. Entah itu sifatnya, kebiasaannya, atau bahkan masa lalunya. Di saat itulah menurutku kita dihadapkan pada dua pilihan, yaitu melepaskan atau berdamai untuk belajar menerima bahwa ia adalah sosok yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Berdamai bukan berarti menutup mata, atau memaksakan hati, tapi menyadari bahwa tidak ada manusia yang sepenuhnya sempurna sesuai dengan imajinasi kita.

    Ketika kekurangan itu muncul, menyelesaikan masalah bukan soal siapa yang paling benar atau siapa yang paling sabar. Kuncinya terletak pada keberanian untuk mau saling bicara. Kita perlu membuka ruang untuk mengungkapkan rasa kecewa, kesal, atau sakit hati. Bukan malah sibuk mencari kekurangan pasangan di orang lain, karena rasa sayang tidak tumbuh dari perbandingan, melainkan dari kemauan untuk tetap saling memilih meskipun tahu sisi gelap masing-masing.

    Hubungan sehat adalah ketika kita mampu bersama-sama menghadapi masalah. Bukan saling memusuhi atau lari ke pelarian lain.

    Mencintai, menikah dan mempertahankan hubungan memang tidak pernah sederhana karena tidak ada dendeng balado dan ayam pop. Tapi mungkin justru di situlah letak keseruannya. Kita terus belajar, terus tumbuh, dan terus memilih satu sama lain, meski tahu ada banyak yang tidak sempurna atau tak semuanya dapat menjadi perintis :”)

  • Belakangan, aku sering kembali bertanya kepada diri sendiri: mungkinkah hidup berpasangan memang bukan jalanku? Dan tetap memilih sendiri merupakan sebuah kesalahan?

    Jujur, aku pernah bahkan sering berpikir bahwa hidup berpasangan sepertinya memang bukan buatku. Rasanya seperti berjalan di tepi jalan yang sunyi, menonton kerumunan orang-orang yang melaju di sisi jalan sebaliknya dengan hidup berpasangan, menikah, dan memiliki anak.

    Kita hidup di masyarakat yang menjadikan pasangan serta keluarga sebagai ukuran kesuksesan hidup. Tidak aneh kalau banyak dari kita merasa bersalah, gagal bahkan aneh jika tetap memilih untuk sendiri.

    Memang, pendapat tersebut tidak salah karena mereka percaya bahwa hidup berpasangan merupakan sebuah kebahagiaan. Meskipun, menurutku ini bias, bukan sebuah kebenaran yang mutlak.

    Memilih hidup sendiri bukan berarti sebuah kehampaan. Banyak orang takut hidup sendiri karena membayangkan hidup menjadi sunyi dan kosong. Tapi nyatanya, menurutku kebahagiaan itu harusnya bergantung pada kualitas relasi dan makna hidup, bukan status hubungan romantis semata.

    Memperoleh hidup yang penuh makna, menurutku bisa diraih dengan mengejar mimpi-mimpi yang belum sempat tercapai, berkontribusi pada hidup orang lain seperti mendengar keluh kesahnya tentang kehidupan, atau melakukan ritual-ritual kecil yang membahagiakan seperti minum kopi, membaca buku atau sekedar menikmati sore dengan berjalan kaki.

    Pada akhirnya, memilih untuk tetap sendiri setidaknya untuk saat ini merupakan sebuah langkah berani untuk hidup sesuai dengan keinginan diri sendiri. Bukan menutup kemungkinan bahwa suatu hari akan berubah pikiran. Tapi kalau saat ini merasa lebih damai dan bahagia untuk hidup sendiri, lantas apa salahnya?

    Aku pernah bertanya dengan diri sendiri apakah hidupku akan kosong jika tidak memiliki pasangan? Ternyata jawabannya tidak. Aku memiliki hobi yang cukup tulus menemaniku sejak lama. Punya mimpi yang pelan-pelan aku coba susun kembali dengan menambahkan komitmen di dalamnya. Serta sebuah kebebasan untuk memeluk sepi dan bahagia dalam waktu yang sama.

    Hidup bukan soal memenuhi ekspektasi orang lain. Hidup adalah soal menemukan apa yang membuat kita merasa penuh, meskipun itu jalannya berbeda.

    Dan jika pilihan ini membuatku lebih utuh, maka biarlah hidup sendiri bukan menjadi sebuah kesahalan, melainkan keberanian untuk setia pada diri sendiri.

  • Hobi bermain game kerap kali dipandang sebelah mata. Banyak orang menilai bahwa ini hanyalah “kegiatan anak-anak” yang tak pantas diteruskan ketika usia hampir menginjak kepala 3 atau bahkan sudah melewatinya. Padahal, jika kita lihat lebih dekat, hobi ini sama seperti hobi-hobi lainnya yang membutuhkan dedikasi, biaya serta waktu.

    Orang-orang yang jarang bahkan tidak pernah main game hanya melihat hobi ini dipermukaan, sekedar beranggapan “cuma main” meskipun sudah duduk lama di depan layar. Mereka tidak melihat bahwa bermain game justru melatih strategi, kreativitas, refleks, bahkan kerja sama tim.

    Bermain game bukan hanya sekedar memencet tombol, namun ada skill problem solving, multitasking, serta konsentrasi yang juga dilatih. Misalnya seperti mereka yang senang bermain game RTS harus belajar berpikir kritis layaknya bermain catur.

    Ironisnya, ketika seseorang menghabiskan waktu dan uang untuk hobi misalnya otomotif atau olahraga akan cenderung mendapatkan pujian karena hal tersebut merupakan sebuah “passion”. Tetapi untuk seorang gamer cenderung mendapatkan cibiran seperti “Udah gede kok masih main game?”. Serius, ini tidak adil.

    Banyak dari kita percaya bahwa bertambah usia tentu harus lebih serius dan dewasa. Memang, pendapat ini sepenuhnya benar. Namun, jika hal ini sampai menyingkirkan sebuah kesenangan yang dianggap “kekanak-kanakan” tentu aku dengan tegas menolak. Menjadi dewasa bukan berarti berhenti bersenang-senang, kan? Menurutku perlu keseimbangan antara tanggung jawab dan hiburan, tanpa perlu mencibir kesenangan orang lain.

    Bermain game bukan hanya “sekedar iseng”, justru para gamer benar-benar meluangkan waktu berjam-jam menekuni sebuah game untuk mempelajari mekanik, strategi, bahkan membaca lore atau cerita game tersebut. Sama persis seperti orang yang meluangkan waktu untuk ngoprek motor, merawat mobil, atau mempelajari teknik berlari.

    Hobi, apapun bentuknya merupakan bagian dari ekspresi diri dan cara seseorang untuk menikmati hidup, juga tentang sebuah makna dan kegembiraan yang diberikan.

    Pada akhirnya yang membuat kita dewasa bukanlah meninggalkan sebuah kesenangan, namun bagaimana kita dapat menempatkan kesenangan tersebut dalam hidup kita.

  • Terkadang jatuh cinta bisa menjadi sangat menyebalkan dan menakutkan, karena pada dasarnya jatuh cinta memiliki kerentanan yang cukup besar. Saat jatuh cinta, kita akan membuka hati. Kemudian, memperlihatkan sisi terdalam kita kepada orang lain. Lalu, muncul rasa takut akan ditolak, disakiti, atau kehilangan atas apa yang dirasakan.

    Selain itu, jatuh cinta juga berarti memberi sebagian “kuasa” atas kebahagaian kita kepada orang lain dan wajar jika rasa itu akan membuat kita cemas. Cinta membawa harapan, namun juga kecewa turut ikut di belakang.

    Selanjutnya, timbul pertanyaan apakah wajar jika seseorang takut untuk kembali jatuh hati kepada seseorang? kemudian memilih menutup perasaan sepenuhnya, meskipun terkadang ada kesempatan di depan mata.

    Menurutku, hal tersebut wajar dan sangat manusiawi. Banyak orang pernah terluka, pernah merasa kehilangan atau pernah sangat kecewa, sampai akhirnya mereka membangun “tembok” di sekelilingnya. Hal itu mereka lakukan bukan karena tidak ingin mencintai atau dicintai, tapi karena mereka takut merasakan sakit yang sama lagi. Kadang rasa takut itu begitu kuat sampai rasanya lebih mudah dan terasa lebih aman untuk tetap memilih diam, menyembunyikan perasaan dan membiarkan kesempatan lewat begitu saja.

    Menutup hati bukan tanda bahwa kita mahluk yang lemah, melainkan ini merupakan bentuk mekanisme perlindungan diri. Meskipun, perlindungan ini tetap memiliki risiko.

    Saat seseorang pernah terluka, kehilangan, atau dikecewakan, alam bawah sadar mereka akan belajar untuk melindungi diri dari potensi rasa sakit yang pernah mereka alami sebelumnya. Dengan cara menahan diri untuk tidak terlalu terbuka, tidak mudah percaya atau bahkan menghindari kedekatan emosional dengan orang lain.

    Paling tidak, langkah ini dapat memulihkan luka serta menjadi kesempatan untuk mengenali diri sendiri. Namun, jika tembok tersebut dibiarkan berdiri kokoh terlalu lama dapat menjadi penghalang untuk sebuah kebahagian dan kehangatan yang mungkin siap menyapa di depan.

    Pada akhirnya, hanya orang itu sendiri yang dapat memutuskan kapan siap untuk kembali membuka hati. Tidak ada yang benar atau salah, hanya menunggu apakah keberanian akan tumbuh, serta menanti kesempatan yang datang akan menuntut kita untuk siap, meski kita kerap tidak pernah benar-benar siap.

    Lalu, bagaimana menurutmu? Apakah menutup hati merupakan hal yang wajar?

  • Negosiator Surga

    Sebuah monolog dari seorang manusia yang tengah sibuk bernegosiasi dengan Tuhan;

    “Tenang, sudah kutitipkan rindu itu di tempat paling sunyi, di ruang yang tak kasat mata. Tak ada satu pun tangan fana yang mampu meraihnya, kecuali tangan Sang Pencipta yang paling setia memeluknya.

    Setiap kali aku berbincang dengan Tuhan di malam-malam panjang, aku bawa namanya, kusematkan dalam setiap bintang di penghujung malam. Bukan karena tak mampu untuk memilikinya, bukan pula karena tak ingin, tapi aku terlalu takut kehilangan, jadi kupilih untuk tak memilikkinya.

    Sebab, coba kau pikirkan, sesuatu bisa dikatakan hilang karena sempat kau milikinya kan? Jadi, dengan tidak memilikinya aku takkan pernah kehilangannya.

    Dalam setiap obrolanku dengan Tuhan, aku berdiskusi untuk memilikinya nanti di kehidupan selanjutnya. Jadi, aku harus berjuang untuk bisa mendapatkan akses surga, agar bisa bertemu dan memilikinya nanti di sana.

    Sebuah awal obrolan yang membuatku takjub dengan hidupnya yang mampu mengelola keikhlasan dengan cukup baik. Kemudian aku penasaran, mengapa tidak memanfaatkan waktu saat ini untuk memiliki seseorang yang dia harapkan nanti bertemu kembali di surga?

    “Kenapa aku tidak mau sekarang? Aku sudah bilang sebelumnya, jika dalam waktu yang sama ada orang yang menyukainya maka aku siap untuk mengalah. Aku tahu bagaimana rasanya dikecewakan oleh harapan yang diambil oleh orang lain. Maka, aku tidak mau orang lain merasakannya, cukup aku.

    Dari pertemuan singkat ini, aku mengerti bahwa tidak semua harapan harus dituntaskan di dunia. Sebab kita masih memiliki kesempatan yang sama di dimensi yang berbeda, dimensi yang abadi yaitu surga. Meskipun nantinya itu tak terwujud, paling tidak momen ini membuat kita punya kesempatan untuk belajar berbicara dengan-Nya lebih dalam.

    Di akhir pertemuan, ia menatapku sebentar. Bukan dengan mata yang memohon atau berharap, melainkan sebuah pandangan yang cukup tenang namun nyaris asing bagiku. Seolah ia telah menyelesaikan percakapan panjang dengan dirinya sendiri.

    “Jadi, selamat berbahagia untuk kalian berdua. Selamat saling menjaga. Selamat mengkasihi.

    Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam seakan sedang mengikhlaskan sesuatu yang sudah lama ia peluk erat.

    Sembari tersenyum, ia pun melanjutkan …

    Karena tujuanku adalah memilikinya secara utuh, terserah dia dengan siapa saat ini. Mungkin di kehidupan selanjutnya tujuanku akan terjawab. Sampai Jumpa!”



  • Medan Tanpa Kamu

    Medan tanpa “kamu” bukan lagi Medan yang kukenal.

    Aku sempat berpikir, bagaimana jika Medan tanpa suara klakson yang bersahut-sahutan di jalan, tanpa pengendara yang menyalip dari kiri dan kanan sembarangan, tanpa makian khas yang terdengar seperti nada tinggi dalam percakapan biasa, semuanya terasa janggal. Terlalu sunyi. Terlalu rapi. Terlalu asing.

    Tanpa kamu, tanpa ketidaksabaranmu, antrean di sebuah pedagang kaki lima yang ramai karena makanannya yang enak jadi terlalu tertib. Tak ada lagi desakan dan lirikan tajam karena penjualnya terlalu lama menyiapkan makanan. Tak ada lagi suara orang di belakang yang menggerutu, “Lama kali, Kak!” dengan nada bercanda tapi penuh ketidaksabaran khas Medan.

    Medan selalu keras, tapi di situlah pesonanya. Kota ini tak suka basa-basi, tak pernah berpura-pura. Warganya bicara apa adanya, kadang terdengar kasar, tapi selalu jujur. Mereka tak berusaha menyenangkan semua orang dan entah bagaimana, dari situlah kehangatan itu muncul.

    Medan, kau tahu aku sering mengeluh tentangmu. Tentang jalananmu yang penuh ketidaksabaran, tentang suara klakson yang tak pernah kenal jeda, tentang teriakan wargamu yang tak tahu volume rendah. Aku pernah berpikir, hidup akan lebih tenang tanpamu.

    Tapi hari ini, kau menghilang. Dan aku benci mengakuinya, aku rindu ketidakaturan itu. Ternyata, kehilangan hiruk pikukmu lebih menakutkan daripada segala huru-hara yang dulu membuatku geram.

  • Hal yang sampai detik ini masih sering aku pertanyakan adalah: apa salahnya menjadi pendiam?

    Bukan berarti akan selalu begitu. Tidak setiap waktu aku bungkam, tidak di semua tempat aku jadi patung tak bersuara. Tapi di tempat-tempat baru, atau di ruang-ruang yang rasanya bukan milikku, aku lebih memilih diam. Bukan karena sombong, bukan pula karena tak peduli. Meskipun sering dianggap begitu, ditambah memiliki muka yang cenderung ketus. Namun, diam adalah cara terbaik untuk merasa aman.

    Masalahnya, menjadi pendiam itu seperti disalahpahami. Katanya susah bergaul. Dan ya, itu memang benar. Aku sulit dekat dengan orang baru kecuali orang baru tersebut lebih dulu membukakan pintu. Katanya aku introvert dan suka menyendiri. Lagi-lagi, benar. Belakangan aku bahkan merasa kesendirian ini seperti candu karena kesendirian ternyata mampu memberikan ketenangan.

    Aku tahu, kita hidup di tengah budaya yang menjunjung tinggi keberisikan. Semakin banyak bicara, semakin lincah bersosialisasi, semakin dianggap “normal”. Tapi bagaimana dengan kami, yang lebih sering memilih diam? Kenapa seolah kami tak diberi ruang?

    Padahal, kami juga punya alasan.

    Kami diam, karena lebih suka mendengar. Saat seseorang butuh tempat bercerita, justru kami yang sering dicari. Mungkin karena kami tahu rasanya butuh didengar, tanpa dipotong, tanpa dibanding-bandingkan. Kadang, orang cuma ingin mengeluarkan isi kepalanya, bukan butuh solusi, apalagi ceramah. Dan kami, para pendiam, terbiasa menjadi bahu yang tak banyak bertanya. Hal ini sampai sekarang terbukti benar, karena sampai detik ini masih menjadi teman cerita dari banyak manusia.

    Kami juga diam, karena merasa tak semua yang ingin kami ucapkan penting untuk didengar. Kami menimbang setiap kata dalam kepala, lalu sering kali membiarkannya tinggal di sana. Tak jarang, kami memilih menuangkan semuanya dalam tulisan. Bisa jadi dipublikasikan, bisa juga hanya disimpan sebagai draft yang tak pernah selesai. Di situlah suara kami hidup, meski tak berbunyi.

    Dan alasan lainnya yang mungkin terdengar paling sepele adalah ketakutan. Takut cerita kami dianggap membosankan. Takut orang-orang memalingkan wajah di tengah-tengah. Jadi, lebih baik kami diam. Menyimpan semuanya rapat-rapat, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

    Tapi jangan salah. Aku bukan seorang pendiam yang ulet. Aku bisa cerewet juga, di waktu dan tempat yang tepat. Tapi kalau soal jadi penyendiri yang handal, lantas aku akan mengatakan IYA!!! dengan lantang. Aku ahlinya, aku jagonya, namun sayangnya jagonya tanpa ayam h3h3h3.