Mengejar Jejak Gundah

Kita sering bertanya-tanya: mengapa seseorang memilih pergi saat ketika rasa sedang bermekar? Mengapa ada hati yang tega menyakiti?, padahal ada kesetiaan yang sabar menanti? Mengapa seseorang sanggup menenun kisah baru, sementara kisah lama belum juga ia akhiri?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggema di dalam kepala karena sempat terlena dalam keindahan rasa. Kita sibuk menyalahkan mereka yang pergi, tanpa pernah benar-benar mau menengok ke dalam diri.

Padahal, bisa jadi gundah yang kini hadir adalah cermin dari apa yang pernah kita lakukan. Pernahkah tanpa sadar kita menyakiti hati orang lain? Pernahkah kita menorehkan luka hingga membuat seseorang menangis dalam malam yang sepi, tanpa memiliki tempat untuk bersandar dan bercerita? Pernahkah kita menutup telinga pada keluh yang dibisikkan, lalu berlalu seolah tak ada apa-apa?

Jika iya, mungkin gundah ini hanyalah manifestasi dari peristiwa lalu. Sebuah balasan halus atas benih luka yang tanpa sadar pernah kita tabur. Sebab sebagai manusia, kita memang kerap buta terhadap kesalahan sendiri, namun begitu piawai menunjuk jari pada kesalahan orang lain.

Mungkin Semesta sedang menitipkan pesan lewat mereka, bahwa apa yang dulu pernah kita lakukan, kini kembali mengetuk dalam wujud yang berbeda. Dan bila engkau yakin sungguh tidak pernah menyakiti siapa pun, bisa jadi Semesta sedang menjadikanmu sebagai pesan untuk orang lain. Suatu saat, ia yang kini memberimu gundah akan merasakan kembali apa yang telah ia tanam.

Sebab tak pernah ada asap tanpa api. Begitulah aku selalu memaknai gundah yang singgah menyesaki kepala ini, bukan sekadar perasaan asing yang datang tanpa sebab, melainkan bagian dari skenario besar Semesta. Setiap gundah adalah pesan, pengingat, dan mungkin pula pengganti doa yang tak sempat kita panjatkan.

Pada akhirnya, yang tersisa hanya pilihan: apakah kita sekadar menjadi penerima pesan, atau justru menjadi pesan itu sendiri bagi orang lain. Jika dipandang dari sisi itu, mungkin gundah tak lagi terasa begitu menyakitkan. Ia bisa dinikmati sebagai tanda bahwa hidup sedang mengajarkan sesuatu yang berharga, dengan cara yang indah, meski terkadang perih.